Kilas wajahnya lembut ketika hatinya sedang tersentuh, berubah menjadi keras ketika ia menahan amarah karena hatinya tersakiti dan menunduk penuh kesal karena ketidakberdayaannya, atas segala kesalahan yang selalu ditimpahkan kepadanya.
Sesaat yang lalu dia begitu
ceria, tapi amarah yang datang tiba-tiba menyalahkan kekurang sempurnaan dia
dalam melakukan perintah, menghapus keceriaan itu dan berganti kelabu. Nyeri
adalah gambaran hati anak lelaki itu, tapi dia tak kuasa melawan amarah yang
memberangus kepercayaan dirinya.
Jiwanya tidak terisi kenangan
indah masa kecil, hanya tertempa kekerasan kata dan sikap, seringkali menahan
tangis meski sakit mendera karena tahu takkan ada peluk dan perlindungan,
seringkali hanya duduk di sudut tanpa teman menemani.
Suatu ketika, suara lembut menyapanya “Wahai
anak berbaju putih, jangan kau serap segala terpaan keburukan jiwa yang sering
menyentak hatimu, jangan kau serap keburukan sikap yang sering memberangus
jiwamu, jangan kau serap amarah dahsyat yang sering mengecilkan hatimu... Tegarlah
berdiri, busungkan dadamu, tinggikan hargadirimu, bijakkan hatimu, luaskan
pikiranmu, lembutkan kata-katamu, dan indahkan sikapmu. Jadilah Lelaki rendah
hati yang pemberani. Karena kau, kaulah
yang menjadi pengisi jiwa-jiwa kosong kami... “
......
0 comments:
Post a Comment