Kening Ayu menggernyit menyimak
setiap kalimat yang ia dengar, semua hal indah yang disampaikan itu tidak
pernah dirasakan dan dialami oleh Ayu dan anak-anaknya. Serentetan kata sudah
berada di ujung lidah Ayu ingin merespon cerita yang didengarkannya itu, ingin
Ayu menyampaikannya, tapi selalu berakhir di terpaku, diam dan hampa, karena
Ayu sadar setiap kali Ayu ‘berkata’ maka akan berakhir di tangis dan
disalahkan.
Perih perasaan Ayu mendengar
betapa orang lain dapat mengandalkan seseorang, yang seharusnya Ayu dan anak-anaknya miliki, untuk dijadikan
tempat menumpahkan kesedihan, kekesalan, dan mendapatkan perhatian atas curahan
hatinya itu. Kesal karena Ayu tidak mampu mendapatkan perhatian dan kelembutan
seperti yang Ayu dengarkan saat itu. Betapa pujian setinggi langit didapatkan
karena kebaikan hati dan perhatian yang ditebarkan di sekitarnya, tapi tidak
untuk diri Ayu dan anak-anaknya.
Ayu tersakiti karena semua
keindahan itu berbanding terbalik dengan kehidupan Ayu dan anak-anaknya. Harga
diri Ayu sebagai istri dan ibu terhinakan karena Ayu dikalahkan oleh proyek
pencitraan diri, dimana ruang hati diri dan anak-anaknya hanya diisi oleh
amarah dan tuntutan, bukan oleh perhatian dan kesabaran sebagaimana yang
diberikannya kepada yang lain.
Ayu bertanya-tanya, apakah pantas
jika Ayu merasa iri hati terhadap ketidakberuntungannya, karena tidak merasa
memiliki orang yang seharusnya dapat diandalkan ketika Ayu dan anak-anaknya
menghadapi masalah? Apakah Ayu pantas
merasa marah terhadap nasib dirinya dan anak-anaknya yang ‘sial’ karena tidak
seberuntung orang-orang di sekelilingnya yang malah mendapatkan perhatian dan
kebaikan dari orang yang seharusnya memberikan semua itu kepada Ayu dan
anak-anaknya?
Dalam kebingungan antara benar
dan salah, antara nyata dan khayal, Ayu tidak dapat menemukan jawaban pasti
atas keinginannya untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Diantara kehampaan
dan kekosongan jiwanya, Ayu kebingungan untuk bisa mendapatkan ketulusan hati bagi
diri dan anak-anaknya. Rasanya langkah Ayu semakin tidak memiliki arah, hanya
menjalani hari.
Ambigu,
Berada dalam kebingungan hati dan
fikir, sulit menempatkan antara yang benar tapi tidak pantas, dan hal yang
tidak benar tapi pantas. Tak sering ditempatkan sebagai hal yang penting dalam
kehidupannya menambah kebingungan dan ketidakberdayaan. Memetakan persoalan
menjadi buntu, selalu berbenturan dengan
tembok kuasa. Terkuras energi dalam ambigu, mengikis akal sehat dan daya fikir.
Terbatas langkah oleh takut, yang lahir dari amarah tanpa arah. Terkuras energi dalam ambigu, mengikis akal
sehat dan daya fikir. Untuk sementara, bagi Ayu, diam tanpa sikap adalah
penyelamat.
0 comments:
Post a Comment