Tuesday, November 19, 2013

Ayu




Kening Ayu menggernyit menyimak setiap kalimat yang ia dengar, semua hal indah yang disampaikan itu tidak pernah dirasakan dan dialami oleh Ayu dan anak-anaknya. Serentetan kata sudah berada di ujung lidah Ayu ingin merespon cerita yang didengarkannya itu, ingin Ayu menyampaikannya, tapi selalu berakhir di terpaku, diam dan hampa, karena Ayu sadar setiap kali Ayu ‘berkata’ maka akan berakhir di tangis dan disalahkan.

Perih perasaan Ayu mendengar betapa orang lain dapat mengandalkan seseorang, yang seharusnya  Ayu dan anak-anaknya miliki, untuk dijadikan tempat menumpahkan kesedihan, kekesalan, dan mendapatkan perhatian atas curahan hatinya itu. Kesal karena Ayu tidak mampu mendapatkan perhatian dan kelembutan seperti yang Ayu dengarkan saat itu. Betapa pujian setinggi langit didapatkan karena kebaikan hati dan perhatian yang ditebarkan di sekitarnya, tapi tidak untuk diri Ayu dan anak-anaknya.
Ayu tersakiti karena semua keindahan itu berbanding terbalik dengan kehidupan Ayu dan anak-anaknya. Harga diri Ayu sebagai istri dan ibu terhinakan karena Ayu dikalahkan oleh proyek pencitraan diri, dimana ruang hati diri dan anak-anaknya hanya diisi oleh amarah dan tuntutan, bukan oleh perhatian dan kesabaran sebagaimana yang diberikannya kepada yang lain.
Ayu bertanya-tanya, apakah pantas jika Ayu merasa iri hati terhadap ketidakberuntungannya, karena tidak merasa memiliki orang yang seharusnya dapat diandalkan ketika Ayu dan anak-anaknya menghadapi masalah?  Apakah Ayu pantas merasa marah terhadap nasib dirinya dan anak-anaknya yang ‘sial’ karena tidak seberuntung orang-orang di sekelilingnya yang malah mendapatkan perhatian dan kebaikan dari orang yang seharusnya memberikan semua itu kepada Ayu dan anak-anaknya?
Dalam kebingungan antara benar dan salah, antara nyata dan khayal, Ayu tidak dapat menemukan jawaban pasti atas keinginannya untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Diantara kehampaan dan kekosongan jiwanya, Ayu kebingungan untuk bisa mendapatkan ketulusan hati bagi diri dan anak-anaknya. Rasanya langkah Ayu semakin tidak memiliki arah, hanya menjalani hari.  
Ambigu,
Berada dalam kebingungan hati dan fikir, sulit menempatkan antara yang benar tapi tidak pantas, dan hal yang tidak benar tapi pantas. Tak sering ditempatkan sebagai hal yang penting dalam kehidupannya menambah kebingungan dan ketidakberdayaan. Memetakan persoalan menjadi  buntu, selalu berbenturan dengan tembok kuasa. Terkuras energi dalam ambigu, mengikis akal sehat dan daya fikir. Terbatas langkah oleh takut, yang lahir dari amarah tanpa arah.  Terkuras energi dalam ambigu, mengikis akal sehat dan daya fikir. Untuk sementara, bagi Ayu, diam tanpa sikap adalah penyelamat.

0 comments:

Post a Comment